Selasa, 17 Maret 2015

Pengertian Tarekat



1.    Pengertian Tarekat
Kata Tarekat di ambil dari bahasa Arab yaitu dari kata benda thariqah yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat secara terminologis (pengertian) ulama sufi : menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi dalam kitab Tanwir Al-Qulub-nya adalah :
“Tarekat adalah beramal dengan syari’at dengan mengambil atau memilih yang Azimah (berat) dari pada yang rukhshoh (ringan), menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah dan menjauhkan diri dari semua larangan syari’at lahir dan batin, melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya, meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia, melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah, yang semuanya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan sorang guru atau syekh atau mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh atau Mursyid).”[1]
Dari definsi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syari’at Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka ia lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah, meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syari’at) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat, minimal manfaat duniawiyah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid atau guru guna menunjukan jalan aman dan selamat untuk menuju Allah (Ma’rifatullah)
Dalam Agenda Muktamar IX Jami’iyah Ahli Al Thariqah Al- Mutabaroh An-Nahdliyah disebutkan bahwa tareqat ialah ilmu untuk mengetahui hal ihwalnya nafsu dan sifat-sifatnya, mana yang tercela kemudian dijauhi dan ditinggalkan, dan mana yang terpuji kemudian diamalkan.[2]
Di samping pengertian tersebut, Harun Nasution menyatakan bahwa tarekat berasal dari kata Thariqah yaitu jalan yang harus di tempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai Syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir sendiri.[3]
Tasawuf dapat di praktekkan dalam setiap keadaan di mana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntutan hidup praktis sehari-hari dari pada konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah Al-Wushul Ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti ma’rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut.
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yang ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah.[4] 
Menurut Rais ‘Am Jami’iyah Ahlit-Thariqah Al-Mu’tabarah An Nahdliyah, Al-Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya, dalam suatu keterangannya di hari ahad, 27 Rajab H, menyatakan :
“Thariqah itu terbagi menjadi 2 bagian yaitu : Thariqah Syari’ah dan Thariqah Wushul. Thariqah Syari’ah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqh, adalah aturan-aturan fiqh sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab para fuqaha’ yang mu’tabar (diakui) keimanan mereka, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang merekasemua adalah para Mujtahid Mutlak. Dan juga para fuqaha’ dari kalangan Mujtahid Madzhab, seperti An-Nawawi, Ar-Romli, Al-‘Asqalani, As-Subki,Al-Haitami, Ar-Rofi’i dsb. Dan juga dari kalangan muhadditsin dan mufassirin, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Ibnu Majah dsb. Mereka adalah para alim yang telah diakui keagungan kewalian serta keimanan mereka diDunia Islam. dan Masing-masing mereka telah diakui kedalamannya dalam ilmu syari’at, akhlaq, tafsir, hadist dsb.
Sedangkan Thariqah Wushuladalah natijah (hasil) dari Thariqah Syari’ah dan
terbagi menjadi 2 kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah swt).
Yang pertama adalah bagi orang-orang yang berpegang pada sunnah Al-Musthafa Muhammad SAW, adab dan akhlaqnya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada Thariqah Wushul.Dan sayogyanya bagi setiap orang yang berkeinginan Wushul, hendaknya mengetahui masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki thariqah apapun serta kaifiyah atau tata caranya. Dan hendaknya berittiba’ (mengikuti) guru dan syaikhnya yang disertai dengan khidmah (pengabdian), muwafaqoh (menganggap benar) dan menghindarkan su’udh-dhon (buruk sangka) dengan keberadaan syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan talbiyah (pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tangannya berlumur kotoran-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upayanya menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya (menganggapnya nyleneh). Akan tetapi kalau kita melihat hal tersebut sebagai upaya menyalakan lampu, tentu kita akan menggapnya baik bahkan suatu keharusan. Inilah seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya bersinar. Dan inilah sebagian dari khawariqul ‘adah (hal-hal yang menyebal dari kebiasaan) yang kadang-kadang muncul pada seorang syaikh. Maka dari itu bagi setiap orang yang akan merambah thariqah wushul, tidak boleh tdak harus berpegang pada laku etika dan tata krama. Bukankah Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan perilaku-periaku yang mulia.”?
Adapun Thariqah Wushul yang kedua adalah bagi orang yang hendak meraih natijah (hasil) dari thariqah wushul yang pertama, dia mesti memperindah dan meningkatkan dirinya dirinya dengan syari’at Allah dan sunnah RasulNya, terutama ketika suluknya. Dan natijah (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk membersihkan hati dan relung-relungya, sehingga yang tampak dalam perilaku dan ucapannya sesuatu yang tidak keluar (tidak melenceng-red) dari Syari’atul Gharra’ (syari’ah yang cemerlang) untuk meraih Thariqah baidho’ (Thariqah yang putih). Hal itu bisa terjadi bila keberadaan seseorang itu bersih dari kelalaian, hal-hal yang nista dan hal-hal yang merusakkan, yang semua itu adalah bahaya yang besar. Maka dengan itu kita tahu bahwa thariqah disini adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan mensucikan relung-relung dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebodohan. Relung-relung hati itu tidak bisa suci atau bersih kecuali dengan dzikir kepada Allah SWT dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mukmin setelah mengetahui ‘aqidatul ‘awam (50 sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah SWT dan Para RasulNya) dan pekerjaan- pekerjaan harian yang disyari’atkan Alla SWT, berupa sholat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-ha yang membatalkannya, zakat, puasa dan haji untuk meningkatkan diri dan memasuki thariqah dzikir dengan cara khusus atau tertentu.






[1]Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, kitab Tanwir Al-Qulub, hal.
[2]Muktamar IX Jami’iyah Ahli Al Thariqah Al- Mutabaroh An-Nahdliyah, Mengenal Thariqah, hal. 1
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: UI press, 1986, hal 89
[4]Ensiklopedia Islam, jilid 5 hal. 66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar