1. Pengertian
Tarekat
Kata
Tarekat di ambil dari bahasa Arab yaitu dari kata benda thariqah yang secara
etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat secara
terminologis (pengertian) ulama sufi : menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili
al-Syafi al-Naqsyabandi dalam kitab Tanwir Al-Qulub-nya adalah :
“Tarekat adalah beramal dengan syari’at
dengan mengambil atau memilih yang Azimah (berat) dari pada yang rukhshoh
(ringan), menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah
yang tidak sebaiknya dipermudah dan menjauhkan diri dari semua larangan
syari’at lahir dan batin, melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya,
meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang
sia-sia, melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah, yang semuanya ini di bawah
arahan, naungan dan bimbingan sorang guru atau syekh atau mursyid yang arif
yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh atau Mursyid).”[1]
Dari
definsi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan
syari’at Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti
rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka ia lebih memilih yang haram)
dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah, meninggalkan
larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh
secara syari’at) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat, minimal manfaat
duniawiyah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid atau guru
guna menunjukan jalan aman dan selamat untuk menuju Allah (Ma’rifatullah)
Dalam Agenda Muktamar IX Jami’iyah Ahli Al Thariqah
Al- Mutabaroh An-Nahdliyah disebutkan bahwa tareqat ialah ilmu untuk mengetahui
hal ihwalnya nafsu dan sifat-sifatnya, mana yang tercela kemudian dijauhi dan
ditinggalkan, dan mana yang terpuji kemudian diamalkan.[2]
Di
samping pengertian tersebut, Harun Nasution menyatakan bahwa tarekat berasal
dari kata Thariqah yaitu jalan yang harus di tempuh oleh seorang calon sufi
dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Thariqah kemudian
mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai Syekh, upacara
ritual, dan bentuk dzikir sendiri.[3]
Tasawuf
dapat di praktekkan dalam setiap keadaan di mana manusia menemukan dirinya,
dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud
nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntutan hidup praktis sehari-hari dari
pada konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah Al-Wushul
Ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti ma’rifat, maka tarekat adalah
metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf
tersebut.
Tarekat
berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan
diri, atau perjalanan yang ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru
yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang
bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta
rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah)
antara murid dan Tuhan dalam beribadah.[4]
Menurut
Rais ‘Am Jami’iyah Ahlit-Thariqah Al-Mu’tabarah An Nahdliyah, Al-Habib Muhammad
Luthfi Bin Yahya, dalam suatu keterangannya di hari ahad, 27 Rajab H,
menyatakan :
“Thariqah
itu terbagi menjadi 2 bagian yaitu : Thariqah Syari’ah dan Thariqah Wushul.
Thariqah Syari’ah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqh, adalah aturan-aturan
fiqh sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab para fuqaha’ yang mu’tabar
(diakui) keimanan mereka, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas,
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang merekasemua
adalah para Mujtahid Mutlak. Dan juga para fuqaha’ dari kalangan
Mujtahid Madzhab, seperti An-Nawawi, Ar-Romli, Al-‘Asqalani,
As-Subki,Al-Haitami, Ar-Rofi’i dsb. Dan juga dari kalangan muhadditsin
dan mufassirin, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Ibnu
Majah dsb. Mereka adalah para alim yang telah diakui keagungan kewalian serta
keimanan mereka diDunia Islam. dan Masing-masing mereka telah diakui
kedalamannya dalam ilmu syari’at, akhlaq, tafsir, hadist dsb.
Sedangkan
Thariqah Wushuladalah natijah (hasil) dari Thariqah Syari’ah dan
terbagi menjadi 2 kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah swt).
terbagi menjadi 2 kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah swt).
Yang
pertama adalah bagi orang-orang yang berpegang pada sunnah Al-Musthafa Muhammad
SAW, adab dan akhlaqnya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada Thariqah
Wushul.Dan sayogyanya bagi setiap orang yang berkeinginan Wushul, hendaknya
mengetahui masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki thariqah apapun serta
kaifiyah atau tata caranya. Dan hendaknya berittiba’ (mengikuti) guru
dan syaikhnya yang disertai dengan khidmah (pengabdian), muwafaqoh
(menganggap benar) dan menghindarkan su’udh-dhon (buruk sangka) dengan
keberadaan syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir
bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan talbiyah
(pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja
mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tangannya berlumur
kotoran-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upayanya
menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat
yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya
(menganggapnya nyleneh). Akan tetapi kalau kita melihat hal tersebut sebagai
upaya menyalakan lampu, tentu kita akan menggapnya baik bahkan suatu keharusan.
Inilah seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya
bersinar. Dan inilah sebagian dari khawariqul ‘adah (hal-hal yang
menyebal dari kebiasaan) yang kadang-kadang muncul pada seorang syaikh. Maka
dari itu bagi setiap orang yang akan merambah thariqah wushul, tidak
boleh tdak harus berpegang pada laku etika dan tata krama. Bukankah Nabi SAW
bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan perilaku-periaku
yang mulia.”?
Adapun Thariqah
Wushul yang kedua adalah bagi orang yang hendak meraih natijah (hasil) dari
thariqah wushul yang pertama, dia mesti memperindah dan meningkatkan
dirinya dirinya dengan syari’at Allah dan sunnah RasulNya, terutama ketika suluknya.
Dan natijah (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk
membersihkan hati dan relung-relungya, sehingga yang tampak dalam perilaku dan
ucapannya sesuatu yang tidak keluar (tidak melenceng-red) dari Syari’atul
Gharra’ (syari’ah yang cemerlang) untuk meraih Thariqah baidho’
(Thariqah yang putih). Hal itu bisa terjadi bila keberadaan seseorang itu
bersih dari kelalaian, hal-hal yang nista dan hal-hal yang merusakkan, yang
semua itu adalah bahaya yang besar. Maka dengan itu kita tahu bahwa thariqah
disini adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan mensucikan
relung-relung dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebodohan.
Relung-relung hati itu tidak bisa suci atau bersih kecuali dengan dzikir kepada
Allah SWT dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mukmin
setelah mengetahui ‘aqidatul ‘awam (50 sifat wajib, mustahil dan jaiz
bagi Allah SWT dan Para RasulNya) dan pekerjaan- pekerjaan harian yang
disyari’atkan Alla SWT, berupa sholat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun
dan hal-ha yang membatalkannya, zakat, puasa dan haji untuk meningkatkan diri
dan memasuki thariqah dzikir dengan cara khusus atau tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar